Di hari sabtu yang cerah, saya memutuskan pergi ke perpustakaan, ya sekali-kali mengisi hari libur l dengan hal-hal yang bermanfaat. Setibanya di sana, ternyata perpustakaan nya tutup. Saya bertanya pada diri saya “Perpustakaan buka nya kapan sih? apakah sama dengan hari kerja dan sekolah? kalau sama, siapa pengunjungnya? kan masyarakat lagi ada kegiatan, kasihan dong mereka yang nggak bisa berkunjung karena selalu tutup, setiap mereka libur kerja perpusnya juga ikutan libur, kayaknya kalau hari libur buka pasti rame dan lebih rame dari hari biasanya".
Itulah salah satu dari lika-liku membaca buku yang membuat saya terluka, berikut adalah lika-liku nya.
Sebaiknya perpustakaan buka di waktu libur kerja dan sekolah.
Waktu buka dan tutup perpustakaan yang bersamaan dengan jam kerja dan sekolah membuat mereka (yang bersekolah dan bekerja) tidak sempat mengunjungi perpustakaan, meskipun kita sering menemukan pelajar di perpustakaan, tetapi itu jumlahnya sedikit dan waktu mereka di perpustakaan cuman sebentar keburu perpusnya tutup. Sangat disayangkan apabila pelajar tidak bisa memanfaatkan perpustakaan secara maksimal, jadi wajar saja jika mereka lebih memilih untuk mengerjakan tugas di cafe karena waktunya lebih lama.
Di Jogja terdapat beberapa perpustakaan yang buka setiap hari kecuali hari libur nasional (tanggal merah). Perpustakaan tersebut buka waktu libur kerja/sekolah meskipun cuman sebentar ya paling cuman sampai siang hari, padahal di saat hari libur kerja/sekolah/akhir pekan lah waktu yang tepat bagi mereka untuk mengunjungi perpustakaan. Saya menemukan banyak keluarga yang mengunjungi perpustakaan di akhir pekan hanya untuk berlibur dan bermain-main, ini merupakan sebuah langkah awal yang positif bagi anak kecil agar bisa lebih dekat dengan perpustakaan sebagai tempat menyimpan dan membaca buku.
Saya bertanya dalam hati “Mengapa perpustakaan tidak buka setiap hari dari pagi sampai sore hari menjelang magrib?” Hal itu bisa saja dilakukan tetapi para penjaga perpustakaan akan kecapekan karena bekerja seharian, maka perlu adanya sebuah kerjasama dari pemerintah dengan mengajak mahasiswa untuk menjaga perpustakaan, setidaknya mereka bisa membantu mengoperasionalkan perpustakaan. Saya yakin bahwa banyak mahasiswa yang siap membantu asalkan ada sebuah imbalan yang cukup untuk membeli bensin dan disediakan konsumsi itu sudah lebih dari cukup bagi mereka.
Banyaknya tugas yang mengantri untuk dilayani
Tugas yang menumpuk membuat hubungan kita dengan perpustakaan dan buku seperti ditarik ulur. Kita rajin ke perpustakaan tetapi tidak dengan membaca buku melainkan mengerjakan tugas sehingga hubungan dengan perpus erat sedangkan dengan buku renggang karena jarang berinteraksi. Terkadang banyaknya tugas memaksa kita untuk datang ke perpustakaan dan membaca buku tertentu, bahkan mau tidak mau kita harus ke perpustakaan untuk menemukan jawaban tersebut.
Jika kita mengamati secara sekilas, ilmu pengetahuan yang kita dapat dari buku yang ingin kita baca dengan buku yang dirujuk oleh dosen jelas berbeda. Pengetahuan yang kita dapatkan dari buku rujukan dosen lebih banyak dibandingkan dengan buku yang kita baca seperti novel, sejarah, biografi dan lain-lain itu hanya memberikan sedikit ilmu pengetahuan, tetapi ilmu yang sedikit inilah yang benar-benar kita pahami dan bertahan lama di benak kita. sedangkan buku yang menjadi rujukan dosen tersebut mempunyai banyak informasi tetapi tak berselang lama kita pun lupa akan informasi tersebut.
Buku yang harganya tidak bersahabat dengan pelajar
Memberikan subsidi buku adalah pilihan yang tepat untuk memperbanyak buku yang beredar di masyarakat. Semakin buku murah maka semakin banyak buku yang beredar di masyarakat dan dengan mudah masyarakat membelinya, setidaknya di dalam satu rumah terdapat beberapa buku yang bisa menjadi bacaan anggota keluarga, bahkan kalau bisa di setiap rumah memiliki perpustakaan keluarga guna memaksimalkan proses pendidikan keluarga.
Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi para pelajar yang sangat giat membaca buku, semakin murah buku maka semakin banyak buku yang ia baca, maka semakin banyak pula wawasan yang ia dapatkan. Selain itu, harga buku yang murah bisa menyelamatkan penulis dari pembajak buku, setidaknya harga buku yang asli dengan yang bajakan itu beda tipis sehingga masyarakat lebih memilih membeli buku yang asli karena harganya tak beda jauh sedangkan manfaatnya sangat beda jauh.
Beban penulis itu berat, makanya jangan jadi penulis kalau tidak mau sambat
Negara harus memberikan apresiasi kepada penulis yang bukunya best seller. Hal ini bermaksud mendorong semangat menulis masyarakat Indonesia, mereka akan bersaing untuk menjadi penulis yang memiliki karya tulis terbaik, dengan demikian akan lahirlah ribuan karya tulis yang memiliki mutu yang tinggi, karya inilah yang kemudian dikonsumsi masyarakat kemudian diimplementasikan dalam kehidupan. Asupan inilah yang kita butuhkan dalam sehari hari semakin banyak ilmu maka semakin baik pula hidup kita.
Pada zaman khalifah Al-Makmum, penulis adalah pekerjaan yang sangat dihormati, Sang Khalifah memberikan upah berupa emas kepada penulis, emas tersebut setara dengan berat buku yang ditulis, jika berat buku satu kilo maka penulis tersebut diberi imbalan satu kilo emas. Tentu fakta ini berbanding terbalik dengan di Indonesia, para penulis disengsarakan oleh pajak sedangkan buku mereka sendiri di bajak, mereka ingin ketika sudah membayar pajak karya mereka dilindungi tetapi pada kenyataanya, ah sudahlah pusing saya.
Perpustakaan banyak tetapi banyak yang kurang layak (seadanya)
Data perpusnas menunjukan sekitar 158.364 jumlah perpustakaan di Indonesia, ini merupakan jumlah yang banyak, tetapi apakah semua perpustakaan bisa dimanfaatkan dengan baik? apakah setiap daerah memiliki perpustakaan? apakah semua orang bisa mengakses perpustakaan? dan masih banyak pertanyaan lainnya mengenai perpustakaan.
Wajar saja jika perpustakaan di Indonesia itu banyak mengenal jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak dan wilayah yang sangat luas, tetapi ternyata masih banyak saudara kita diluar sana yang kesulitan menggunakan fasilitas perpustakaan. Sebut saja di satu kabupaten, kurang lebih satu dua perpustakaan yang berada di kota yang jaraknya jauh dari pedesaan, sehingga untuk menikmati perpustakaan membutuhkan waktu, tenaga, dan modal. Jadi wajar saja apabila mereka lebih memilih tidak berkunjung.
Saya mengapresiasi pemerintah yang telah menyediakan perpustakaan di pedesaan, meskipun perpustakaan tersebut jarang sekali dikunjungi masyarakat karena tempatnya kurang nyaman bahkan bisa dikatakan “kurang diurus dengan baik”. Setidaknya perpustakaan tersebut bisa membuat anak seusia sekolah dasar tertarik dan betah di dalam perpustakaan.
Di Jogja terdapat beberapa perpustakaan yang buka setiap hari kecuali hari libur nasional (tanggal merah). Perpustakaan tersebut buka waktu libur kerja/sekolah meskipun cuman sebentar ya paling cuman sampai siang hari, padahal di saat hari libur kerja/sekolah/akhir pekan lah waktu yang tepat bagi mereka untuk mengunjungi perpustakaan. Saya menemukan banyak keluarga yang mengunjungi perpustakaan di akhir pekan hanya untuk berlibur dan bermain-main, ini merupakan sebuah langkah awal yang positif bagi anak kecil agar bisa lebih dekat dengan perpustakaan sebagai tempat menyimpan dan membaca buku.
Komentar
Posting Komentar